Bantuan Sosial Untuk Korban Judi Slot Online

Bantuan Sosial Untuk Korban Judi Slot Online

JAKARTA, KOMPAS.com – Menteri Koordinator (Menko) Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menyebut pemerintah akan memberi bantuan kepada para korban judi online.

“Pasti (diberi bantuan), karena ini bagian dari korban sosial, dan tentu selain BPJS, kemudian kita juga ada berbagai bantuan-bantuan dari Kementerian Sosial,” kata Cak Imin di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Jumat (15/11/2024).

Namun, Cak Imin tidak secara rinci menjelaskan jenis bantuan yang akan diberikan pemerintah.

Ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa itu menyebutkan, korban judi online juga akan diberikan pelatihan.

Baca juga: Cak Imin Sebut Judi Online sebagai Bencana Sosial, Sudah Menjangkiti 8,8 Juta Orang

Sebab, menurut dia, salah satu akar masalah judi online adalah faktor kemiskinan di samping kecanduan.

“Pasti (ada pelatihan), akar masalahnya adalah dua, yang pertama tentu kemiskinan dan pengangguran, akar yang kedua adalah ya psikologis, ya kecanduan dan berbagai aspek-aspek non-ekonomi,” ujar Cak Imin.

Ia juga membuka kemungkinan pemerintah memberikan pekerjaan kepada para korban perjudian online.

“Itu agenda besarnya seperti itu,” kata Cak Imin saat ditanyakan apakah pemerintah akan menyiapkan pekerjaan ke korban judi online.

Baca juga: RSCM Catat Lonjakan Pasien Pencandu Judi Online

Dalam kesempatan ini, ia menyebut judi online sudah masuk pada tahap bencana sosial yang telah melibatkan tidak kurang dari 8,8 juta masyarakat Indonesia.

Cak Imin menyinggung keadaan para korban judi online cukup memprihatinkan sehingga para pecandu judi online ini perlu mendapat rehabilitasi.

“Para pecandu judi online juga mengalami kondisi yang memprihatinkan, perilakunya kemudian kehidupannya hancur dan negara harus melakukan langkah-langkah pertolongan dan rehabilitasi,” kata Cak Imin.

“Semua harus terlibat, saya sebagai Menteri Koordinator akan mengajak semua kementerian yang terkait untuk bahu-membahu mengatasi judi online ini,” ujar dia.

Bantuan Sosial Provinsi (Bansos Provinsi) adalah program bantuan sosial yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat. Bantuan ini diberikan kepada keluarga (bukan individu) yang mengalami kesulitan ekonomi akibat Pandemi Covid-19. Agar memastikan bantuan sosial tepat sasaran, Pemdaprov Jabar memberlakukan mekanisme penyaringan data pendaftar yang menyebabkan tidak semua pendaftar berhak mendapatkan bantuan sosial.

Pada aplikasi Sapawarga dan website Solidaritas, tercantum sekitar 27 alasan detail yang menjelaskan ditolaknya pendaftar sebagai penerima atau Keluarga Rumah Tangga Sasaran (KRTS) Bansos Provinsi. Untuk lebih singkatnya, berikut kami kategorikan penyebab ditolaknya usulan calon penerima bantuan ke dalam 5 kelompok alasan umum, yaitu:

Beberapa istilah yang perlu dipahami masyarakat untuk memahami proses penyelenggaraan bansos, antara lain:

III. Penjelasan Detail

Berikut adalah penjelasan detail mengenai tidak terdaftar/ditolak sebagai penerima manfaat (KRTS):

A. Tidak Memenuhi Kriteria Administrasi

B. Dianggap Tidak Layak Menerima Bantuan Sosial Provinsi Oleh Penilaian Pemerintah

C. Sudah Terdaftar Sebagai Penerima Manfaat Pada Pintu Bantuan Lain

Penyebab pendaftar ditolak sebagai calon penerima manfaat Bansos Provinsi adalah karena telah terdaftar sebagai:

D. Terjadi Kesalahan Pada Proses Input Data

E. Berpotensi Atau Telah Mengalami Gagal Salur

GAGASAN Menko PMK Muhadjir Effendy bahwa korban judi online boleh mendapatkan bantuan sosial (bansos) pada pertengahan Juni 2024 ini menuai kontroversi. Dari masyarakat biasa hingga Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Wapres Ma’ruf Amin angkat bicara.

Airlangga mengatakan korban judi online tidak tergolong kategori yang seharusnya mendapatkan fasilitas bansos. Tidak tersedia anggaran (APBN) untuk keperluan tersebut (Kompas.com, 14/06/2024).

Sementara Kiai Ma’ruf mengatakan, penerima bansos yang kedapatan menggunakan bantuan tersebut untuk berjudi, termasuk judi online, maka harus dicabut dari daftar penerima bantuan (Kompas.com, 21/06/ 2024).

Belakangan Menteri Muhadjir meralat ucapannya. Ia mengklarifikasi bahwa informasi yang beredar di media massa kurang lengkap dan dipotong-potong.

Menurut Muhadjir, mereka yang menjadi sasaran penerima bansos korban judi online bukan pelaku, melainkan pihak keluarga. Pelaku sudah jelas harus ditindak secara hukum karena itu pidana.

Muhadjir berpandangan, bansos tersebut akan membantu pihak keluarga yang menjadi korban perilaku judi online. Sebab, keluarga yang menjadi korban, khususnya anak dan istri.

Dia mengatakan, keluarga bukan hanya mengalami kerugian secara materi, tetapi juga kesehatan mental, bahkan sampai berujung kematian sebagaimana terjadi dalam banyak kasus (Kompas.com, 17/06/ 2024).

Tentunya kasus terakhir yang menghebohkan adalah seorang istri polwan (FN) yang membakar suaminya yang polisi juga (RDW) hingga tewas karena kesal sang suami menggunakan gajinya untuk judi online, di Mojokerto Jawa Timur pada 8 Juni 2024.

Saking seriusnya memerangi judi online, pemerintah membuat Satgas Pemberantasan Perjudian Online melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Online yang terbit di Jakarta 14 Juni 2024.

Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), sejak 17 Juli 2023 hingga 21 Mei 2024, tercatat 1.904.246 konten judi online dihapus (take down).

Kemudian, sebanyak 5.364 rekening dan 555 dompet elektronik yang terafiliasi dengan judi online sudah diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) untuk diblokir.

Selain itu, Kemenkominfo mencatat ada 14.823 konten sisipan terindikasi judi online di situs lembaga pendidikan serta 17.001 konten sisipan serupa di situs-situs pemerintahan (Kompas.com, 17/06/ 2024).

Pertanyaan kemudian, apakah memang layak korban judi online mendapatkan bansos secara selektif seperti gagasan Menteri Muhadjir?

Hans von Hentig (dalam John Dussich, 2009) menyebutkan dalam bukunya, "The Criminal and His Victim" bahwa ada taksonomi yang menggambarkan bagaimana korban bertanggung jawab atas kerugian yang mereka alami. Skemanya didasarkan pada psikologis, sosial dan faktor biologis.

Ia juga tertarik pada hubungan antara pelaku dan korban, yang disebutnya sebagai pasangan korban kriminal.

Pada tahun 1948, Hans von Hentig mengembangkan tiga kategorisasi korban sebagai berikut :

Pada akhirnya, Von Hentig memperluas kategorinya menjadi 13 kelompok orang yang rentan jadi korban, yakni kaum muda, perempuan, orang lanjut usia, orang dengan disabilitas mental dan penyakit jiwa, para imigran.

Kemudian kaum minoritas, para pembosan, orang yang depresi, orang yang serakah – acquisitive, orang yang ceroboh – wanton, mereka yang kesepian dan patah hati, sang penyiksa – tormentor, dan mereka yang diboikot, dikecualikan, atau diperangi.

Stephen Schafer (dalam Dussich, 2009) di dalam bukunya "Victim and His Criminal" berfokus pada interaksi antara korban dan pelaku dan mengembangkan taksonomi berdasarkan tanggung jawab fungsional korban atas kejahatan tersebut sebagai berikut :

Bappenas (2014) menyebutkan bahwa program bantuan sosial memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial melalui pengurangan kemiskinan.

Bantuan yang diberikan dalam program bantuan sosial tidak bergantung kepada kontribusi dari penerima manfaatnya—seperti pada program asuransi sosial.

Bantuan sosial dapat diberikan secara langsung dalam bentuk uang (in-cash transfers), juga dalam bentuk barang dan pelayanan (in-kind transfers).

Setiap bantuan bisa bersifat sementara karena terjadinya situasi sosial tertentu: bencana, resesi ekonomi, atau kebijakan pemerintah tertentu.

Selain itu, bantuan juga dapat bersifat tetap khususnya bagi penduduk yang mempunyai kerentanan permanen: penyandang disabilitas, lanjut usia, dan anak telantar.

Menurut International Labour Organization (ILO), skema bantuan sosial bertujuan menyediakan sumber daya minimum bagi individu dan rumah tangga yang hidup di bawah standar penghasilan tertentu, tanpa mempertimbangkan aspek kontribusi dari individu dan rumah tangga penerimanya.

Penentuan penerima bantuan umumnya dilakukan berdasarkan tingkat pendapatan penduduk serta kriteria sosial ekonomi lainnya.

Skema bantuan sosial dapat difokuskan kepada kelompok target tertentu (seperti keluarga miskin dengan anak hingga penduduk lanjut usia dengan penghasilan yang terbatas). Bisa juga diberikan sebagai bantuan pendapatan secara umum bagi pihak yang membutuhkan.

Purwowibowo dan Hendijanto (2019) menyebutkan bahwa konsep kesejahteraan sosial dapat dimaknai dari dua sisi.

Pertama dalam arti sempit, diartikan sebagai bantuan finansial dan layanan-layanan lainnya bagi golongan masyarakat yang kurang beruntung.

Kedua, diartikan sebagai bentuk upaya intervensi sosial primer dan langsung dalam meningkatkan taraf kesejahteraan sosial individu dan masyarakat secara luas.

Pada UU No.11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, bantuan sosial dikategorikan sebagai bagian dari perlindungan sosial.

Perlindungan sosial sendiri dimaksudkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal (Pasal 14 ayat 1 UU Kesejahteraan Sosial).

Peraturan Menteri Sosial No.1 tahun 2019 tentang Penyaluran Belanja Bantuan Sosial di Lingkungan Kementerian Sosial menyebut bahwa Penerima Bantuan Sosial adalah seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat miskin, tidak mampu, dan/atau penyandang masalah kesejahteraan sosial.

Bantuan sosial yang diberikan kepada Penerima Bantuan Sosial tidak untuk dikembalikan dan diambil hasilnya (Pasal 5 ayat 2 Permensos Bantuan Sosial).

Dalam Pasal 6 Permensos No. 1 tahun 2019 tersebut menyebutkan bahwa bantuan sosial diberikan dalam bentuk: a. uang; b. barang; dan/atau c. jasa. Bantuan sosial dalam bentuk uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a disalurkan secara nontunai, terkecuali untuk kelompok tertentu seperti : a. penyandang disabilitas berat; b. lanjut usia terlantar non potensial; c. eks penderita penyakit kronis non potensial; d. komunitas adat terpencil (KAT); dan/atau e. daerah yang belum memiliki infrastruktur untuk mendukung penyaluran Bantuan sosial secara non tunai.

Selain bantuan sosial yang dikecualikan, dapat juga diberikan secara tunai kepada: a. lanjut usia potensial; b. lanjut usia tidak potensial; c. anak yang memerlukan/membutuhkan perlindungan khusus; dan/atau d. daerah yang telah memiliki infrastruktur namun tidak dapat digunakan karena akibat bencana.

Klasifikasi penerima bantuan sosial adalah : a. perorangan; b. keluarga; c. kelompok; dan/atau d. masyarakat, dengan kriteria masalah sosial sebagai berikut : a. kemiskinan; b. keterlantaran; c. kedisabilitasan; d. keterpencilan; e. ketunaan sosial atau penyimpangan perilaku; f. korban bencana; dan/atau g. korban tindak kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (Pasal 12 Permensos No. 1/ 2019).

Layakkah korban judi online mendapatkan bansos?

Pertama-tama harus diklarifikasi siapa pelaku dan siapa korban dalam suatu aktifitas judi online.

Mereka yang berstatus dewasa, yang melakukan secara sadar, tanpa paksaan dan memiliki niat dan melaksanakannya sekaligus (mens rea dan actus reus) tentunya adalah pantas disebut sebagai pelaku. Walaupun posisinya bisa bervariasi tergantung perannya.

Pasal 55 KUHP Indonesia menyebutkan bahwa pelaku yang melakukan (pleger), menyuruh melakukan (doen pleger), turut serta melakukan (medepleger), dan menganjurkan atau menggerakan melakukan (uitlokker), dipidana sebagai pembuat (dader).

Sementara itu KUHP baru (UU No. 1 tahun 2023) yang akan berlaku pada tahun 2026 menyatakan sebagai berikut : (Pasal 20) Setiap orang dipidana sebagai pelaku tindak pidana jika: melakukan sendiri tindak pidana; melakukan tindak pidana dengan perantaraan alat atau menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan; turut serta melakukan tindak pidana; atau menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana dengan cara memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, melakukan kekerasan, menggunakan ancaman kekerasan, melakukan penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.

Apabila memenuhi kriteria delik di atas tentunya pelaku judi online adalah sebenar-benarnya pelaku dan bukan korban.

Walaupun bisa saja mereka melakukannya karena tekanan ekonomi, kebutuhan keluarga, atau karena terjerat hutang.

Sedangkan korban, tingkatannya- pun bervariasi. Ada yang sama sekali tak berpartisipasi (innocent victims dan unrelated victims) dalam kejahatan judi online dari sang pelaku (katakanlah suami atau ayah dalam suatu keluarga).

Ada yang memiliki peran minimal (minor) ataupun sama besar dengan sang pelaku. Misalnya anggota keluarga yang turut mem-provokasi (provocative victims) atau turut menyebabkan (precipitative victims) sang pelaku untuk melakukan judi online.

Atau ada juga korban yang memang secara sosial budaya terposisikan sebagai lemah (socially weak victims) dalam tipologi Stephen Schafer maupun Hans von Hentig seperti kaum Perempuan (terutama yang miskin dan jauh dari akses kekuasaan), anak-anak dan kaum lansia.

Viktimisasi akibat judi online akan bertambah lagi (multiple victimization) ketika mereka juga sekaligus adalah minoritas dan memiki disabilitas, baik mental maupun fisik.

Maka gagasan Menteri Muhadjir ada salah dan ada benarnya. Disebut salah ketika (rencana) pemberian bansos dilakukan secara serampangan, tanpa melihat posisi kasusnya, tanpa melihat situasi dan pola kejahatan judi online-nya, dan tanpa memandang peran korban dalam kejahatan tersebut (victims precipitation).

Disebut benar ketika korban adalah semata-mata memang korban sebenarnya yang innocent (tak bersalah) dan tak berkontribusi dalam judi online tersebut (unrelated victims).

Ditambah lagi karena mereka memang miskin dan akan menjadi semakin miskin dan sulit hidupnya karena salah satu anggota keluarga (misalnya sang ayah atau suami) terlibat dalam judi online.

Sehingga, yang menjadi fokus utama pemberian bansos di sini adalah karena memang mereka miskin dan tak punya akses dan sumber daya memadai untuk meningkatkan kesejahteraannya ke taraf yang minimal.

Di sinilah bansos dapat menjadi alternatif untuk kelompok dengan syarat-syarat seperti itu.

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah akhirnya resmi membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Judi Online. Hal ini menjadi wujud upaya pemerintah untuk menghapuskan kegiatan ilegal yang semakin meresahkan tersebut.

Judi online telah terbukti merugikan pemainnya, bahkan dalam beberapa kasus bisa sampai merenggut nyawa. Keluarga atau orang-orang di sekitar pelaku bahkan bisa terdampak dan ikut merugi.

Seiring dengan itu, wacana pemberian bantuan sosial (Bansos) untuk “korban” judi online pun muncul dari pihak pemerintah. Usulan itu berasal dari Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy.

Alasannya, pelaku judi online maupun keluarganya berpotensi menjadi masyarakat miskin baru, sehingga perlu ditangani oleh pemerintah.

Baca juga: Tolak Wacana Penjudi Online Diberi Bansos, MUI: Berjudi Pilihan Hidup Pelaku

“Termasuk banyak yang menjadi miskin baru, itu menjadi tanggung jawab kita, tanggung jawab dari Kemenko PMK," ujar Muhadjir di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (13/6/2024).

Menurut Muhadjir, salah satu yang bisa dilakukan adalah memasukkan mereka ke data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS), agar menerima bansos dari pemerintah.

Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansah menilai usulan tersebut tidak tepat dan tak solutif. Pemberian bansos justru berpeluang membuat para penjudi daring merasa “aji mumpung”.

Di samping itu, pemberian bansos juga dikhawatirkan merusak upaya pemberantasan korupsi, termasuk juga penghapusan kemiskinan.

“Misalnya ada yang berpikir 'Kalau gitu kita judi terus saja, kalau menang dapat uang. Kalau kalah dapat bansos'. Misalnya begitu,” ujar Trubus saat dikonfirmasi Kompas.com, Sabtu (15/6/2024).

“Jadi itu merusak. Malah justru melanggengkan bansos itu sendiri. Dan tidak memutus kemiskinan," tegasnya.

Baca juga: Klaim Sudah Bantu Korban Judi Online, Menko PMK: Mereka Dimasukkan Jadi Penerima Bansos

Trubus berpandangan, seharusnya pemerintah fokus memberantas praktik judi online, dan memberikan sanksi tegas untuk pihak-pihak yang terlibat.

Bila perlu, lanjut Trubus, pemerintah menghukum mati para bandar judi online, seperti yang diterapkan kepada bandar narkoba.

“Harus tegas betul. Kalau enggak tegas, enggak bisa ini judi online diberantas. Karena sudah ditebas berkali-kali, sudah 2,1 juta aplikasi ditertibkan, setiap hari muncul lagi muncul lagi," pungkasnya.

Perlu dibantu agar bisa "survive"

Berbeda dengan Trubus, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman justru menganggap usulan Muhadjir layak dipertimbangkan untuk diterapkan sementara.

Dengan begitu, kebutuhan korban dapat terpenuhi untuk sementara waktu, tanpa harus bermain judi online demi mendapatkan uang.

“Karena memang kita harus melepaskan ketergantungannya korban tersebut dengan Judi online. Jadi kalau dia bisa survive artinya dia akan berkurang keinginannya mengadu nasib dengan bermain judi online,” ujar Habiburokhman.

Baca juga: Muhadjir: Tak Semua Korban Judi Online Bisa Terima Bansos, Itu Pun Baru Usulan Pribadi

Politisi Gerindra itu beranggapan, pemberian Bansos bisa menjadi pelengkap dari upaya pemberantasan judi online, sekaligus mengatasi dampak-dampak yang ditimbulkan.

“Ini penting untuk melengkapi tindakan penegakan hukum yang sekarang gencar dilakukan oleh Polri. Jadi dari hulu maupun hilir ini’.ditangani serius judi online ini. Jadi kami sepakat sekali,” kata Habiburokhman.

Meski begitu, Muhadjir menegaskan bahwa pemberian bansos untuk korban judi online baru sebatas usulan pribadi.

Wacana ini juga belum dibahas lebih lanjut bersama kementerian/lembaga terkait, terutama yang tergabung dalam, Satgas Pemberantasan Judi Online.

“Belum (dibahas bersama-sama). Itu baru usulan saya,” ujar Muhadjir saat dihubungi Kompas.com.

Muhadjir memastikan tidak semua korban judi online bisa dimasukan ke DTKS, untuk nantinya bisa menerima bansos dari pemerintah.

Baca juga: Satgas Pemberantasan Judi Online Dibentuk, Dipimpin Hadi hingga Muhadjir Effendy

Pemerintah akan tetap melihat kondisi perekonomian dari pihak yang terdampak judi online, apakah memenuhi kriteria sebagai penerima bansos.

“Memang tidak serta merta (dapat bansos). Biar jadi korban tetapi tidak memenuhi kriteria penerima bantuan, misalnya keluarga itu masih tetap kaya, ya tidak,” kata Muhadjir.

Muhadjir menambahkan, penindakan secara hukum terhadap pelaku atau pemain judi online tetap harus dilakukan. Namun, pihak keluarga yang jatuh miskin karena perbuatan pemain judi online patut dipertimbangkan untuk dibantu.

“Yang terlibat judi tetap harus ditindak. (Sedangkan) keluarganya yang jadi korban, yang miskin dan yang jatuh miskin harus diberi bantuan,” pungkasnya.

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar mengatakan bahwa pemerintah bakal memberikan bantuan kepada masyarakat yang kecanduan judi online. Pria yang karib disapa Cak Imin itu menyampaikan ini saat mengunjungi pasien korban judi online di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada Jumat, 15 November 2024.

"Pasti (dapat bantuan pemerintah), karena ini bagian dari korban sosial," katanya di RSCM, Jakarta pada Jumat, 15 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cak Imin memastikan bahwa pemerintah tidak hanya membantu menanggung biaya perawatan rumah sakit lewat BPJS. Lebih dari itu, ujarnya, ada berbagai bantuan yang akan diberikan oleh Kementerian Sosial kepada pecandu judi online.

Namun, dia belum dapat memastikan apakah keluarga korban turut mendapat bantuan. Menurut dia, hingga saat ini belum ada program untuk keluarga korban judi online itu dari kementeriannya.

"Akan kami kumpulkan dulu fakta-faktanya, baru nanti akan kami lihat solusinya," ujar Cak Imin

Ketua Umum PKB itu mengatakan, bahwa fenomena judi online di Indonesia telah masuk klasifikasi bencana sosial. Menurut dia, judi online sudah merusak seluruh sendi kehidupan dan menghambat individu untuk berkembang menuju tahap kesejahteraan.

"Orang yang sudah terlibat dan menjadi korban judi online hancur seluruh sendi kehidupannya, baik sendi ekonomi, sosial, psikologis, maupun keluarganya," kata Cak Imin.

Dia mengatakan, negara perlu hadir untuk melakukan pertolongan dan merehabilitasi rakyatnya yang terkena adiksi judi online. Dia menyatakan bakal mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama mengatasi bahaya judi online ini.

"Saya sudah meminta beberapa kementerian, termasuk kerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk terus mendeteksi di seluruh rumah sakit," ucapnya.

Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar mengatakan bahwa pemerintah bakal memberikan bantuan kepada masyarakat yang kecanduan judi online. Pria yang karib disapa Cak Imin itu menyampaikan ini saat mengunjungi pasien korban judi online di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada Jumat, 15 November 2024.

"Pasti (dapat bantuan pemerintah), karena ini bagian dari korban sosial," katanya di RSCM, Jakarta pada Jumat, 15 November 2024.

Cak Imin memastikan bahwa pemerintah tidak hanya membantu menanggung biaya perawatan rumah sakit lewat BPJS. Lebih dari itu, ujarnya, ada berbagai bantuan yang akan diberikan oleh Kementerian Sosial kepada pecandu judi online.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menko Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar atau Cak Imin mengatakan pemerintah akan memberi bantuan kepada para korban judi online.

"Pasti (beri bantuan), karena ini bagian dari korban sosial dan tentu selain BPJS, kemudian kita juga ada berbagai bantuan-bantuan dari Kementerian Sosial," kata Cak Imin saat mengunjungi korban judi online di RSCM, Jakarta, Jumat (15/11).

Ia menyinggung keadaan para korban judi online yang dalam kondisi memprihatinkan. Perilaku dan kehidupan korban juga hancur, sehingga negara harus melakukan langkah-langkah pertolongan dan rehabilitasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tugas kita semua mari bahu-membahu untuk mengatasi ini dan tugas saya sebagai Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat ingin melihat dan mengatasi dari aspek sosialnya," katanya.

Di RSCM, tercatat sebanyak 46 pasien dirawat sepanjang 2024 imbas kecanduan judi online. Jumlah itu naik tiga kali lipat jika dibandingkan 2023.

Dalam periode yang sama, ada sekitar 126 pasien yang dirawat jalan. Jumlah ini pun naik dua kali lipat dibandingkan 2023.

Mayoritas pasien judi online di RSCM adalah laki-laki dengan usia produktif 18 hingga 35 tahun.

Cak Imin mengaku tengah berkoordinasi dengan Kemenkes untuk mendata pasien kecanduan judi online di rumah sakit lain

"Ini saya sedang minta beberapa kementerian, termasuk kerjasama dengan Kementerian Kesehatan, untuk terus mendeteksi di seluruh rumah sakit-rumah sakit. Ini baru langkah awal saja di RSCM ini," katanya.